dr.
Kariadi
lahir di Kota Malang, pada 15 September 1905. Pendidikannya dimulai di
Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo,
Surabaya, lulus pada 1920. Pada 1921, ia berhasil memasuki Nederlandsch
Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya
dan lulus pada 1931. Begitu lulus, dr. Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh
pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) di
Surabaya. Setelah berdinas tiga tahun, dr. Kariadi ditugaskan ke Manokwari,
Tanah Papua.
dr.
Kariadi menikah dengan drg. Soenarti, lulusan STOVIT (Sekolah Kedokteran Gigi)
di Surabaya. Soenarti lulus sebagai dokter gigi pribumi pertama di Hindia
Belanda. Setelah bertugas selama tiga tahun di Manokwari dr. Kariadi kemudian
dipindahkan ke Kroya (Banyumas). Baru dua tahun bertugas di sini dr. Kariadi
ditugaskan lagi ke luar Jawa, yaitu ke Martapura dan selesai bertugas 15 Mei 1942.
Setelah itu, tepatnya 1 Juli 1942, dr. Kariadi ditugaskan sebagai Kepala
Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) di Semarang.
Perang kemerdekaan terjadi tidak lama
setelah proklamasi dikumandangkan, termasuk di Semarang. Para pemuda terus
berusaha merebut persenjataan milik tentara Jepang. Pada 13 Oktober 1945
suasana di Semarang sangat mencekam. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak
penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak
sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para
pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi
Jepang.
Pada
Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat
instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS
Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore
harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian
menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang
bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan
anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi
warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi
Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu
tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat
pun menjadi gelisah.
Selepas
Magrib, ada telefon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan
agar dr. Kariadi
segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu.
Dokter Kariadi, yang bertugas sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara
pun dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat
berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat
termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg.
Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting
itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran
desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg.
Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa.
Tengah
malam telefon berdering di rumah dr. Kariadi. Soenarti mengangkat telefon itu,
ternyata dari Rumah Sakit Purusara dr. Kariadi ditembak tentara Jepang dan
tidak tertolong lagi nyawanya. Soenarti pun menangis. Hingga keesokan harinya,
keluarga dr. Kariadi kebingungan karena tidak bisa datang ke rumah sakit, di
mana jasad dr. Kariadi terbaring penuh luka karena suara tembakan terus
terdengar di luar rumah.
Ternyata
dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr.
Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar
yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia
sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar
bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak
dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Sekitar
pukul 3.00 WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000
tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu,
berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan
warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota.
Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang minta
gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung.
Sementara
itu, karena kesibukan yang luar biasa dan situasi yang sangat gawat, jenazah
dr. Kariadi belum dapat dimakamkan. Barulah pada 17 Oktober 1945, jenazah
dimakamkan di halaman rumah sakit. Pemakaman berlangsung khidmat dengan naungan
bendera Merah Putih meskipun sering terganggu dengan tembakan musuh. Anak-anak
dr. Kariadi hadir di pemakaman, sedangkan istrinya merasa tidak mampu
menyaksikan.
Pada
19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang.
Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia
dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan
karyawan RS Purusara.
Pada
5 November 1961, kerangka dr. Kariadi dipindahkan dari halaman RS Purusara ke
Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Menurut putrinya, Prof. Dr. Sri
Hartini K.S. Kariadi, dr., Sp.PD-KEMD, ketika kerangka ayahandanya dipindahkan
itu, ia sempat ikut memeriksa tulang-belulang ayahandanya. Sebagai mahasiswa
kedokteran (waktu itu) ia melihat di tengkorak terdapat retakan membentuk
celah, yang menunjukkan bekas pukulan benda tajam (mungkin dipukul dengan
sangkur, sebelum ditembak).
Sebagai
penghargaan atas jasa-jasa dr. Kariadi, pada 1964, RSUP Purusara (yang sejak
1949 menjadi RSUP Semarang), diganti namanya menjadi "Rumah Sakit Dokter
Kariadi", dan pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968, dr. Kariadi dianugerahi
Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto, secara Anumerta.
Source :
0 comments:
Posting Komentar